MABES PRESISI, Ogan Ilir – Pengelolaan pengadaan barang dan jasa di Ogan Ilir menghadapi guncangan serius menyusul temuan skandal pemalsuan dokumen yang telah mencuat.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumatera Selatan melaporkan hasil pemeriksaannya yang mengungkap praktik pemalsuan nota, stempel, nama, dan tanda tangan dalam transaksi pengadaan, memunculkan kekhawatiran serius.
Dampak dari tindakan pemalsuan ini mencapai angka yang signifikan, dengan kerugian dana publik mencapai Rp 55.410.500.
Berdasarkan temuan ini, seorang Praktisi Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bakri Karim SH, dalam pandangannya kepada redaksi Mabes Presisi menekankan bahwa jika temuan BPK mengindikasikan adanya belanja fiktif seperti belanja ATK, belanja makan dan minum, serta belanja alat listrik dan bahan bangunan di salah satu kecamatan di Ogan Ilir, hal ini dapat menjadi dasar untuk menindaklanjuti kasus tersebut dengan melaporkannya kepada Kejaksaan dan Kepolisian.
Menurut Bakri Karim, tindakan pengembalian kerugian negara tidak cukup untuk menghapus potensi tindak pidana yang mungkin terjadi dalam skenario semacam ini.
“Hasil temuan BPK Nomor 39.A/LHP/XVIII.PLG/05/2023 tanggal 15 Mei 2023 mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana serius,” ungkapnya, Rabu (16/8).
Laporan BPK menyoroti beberapa transaksi yang mencurigakan. Di antaranya, terungkap bahwa pihak kecamatan melaporkan melakukan belanja ATK sebesar Rp 34.314.000 pada toko RK, sedangkan belanja makan dan minum di sebuah tempat makan mencapai Rp 18.022.500.
Selain itu, terdapat belanja alat listrik dan bahan bangunan senilai Rp 3.074.000 yang melibatkan pihak ketiga SPD.
“Hasil temuan BPK tersebut mengindikasikan keterlibatan oknum Camat dalam dugaan tindak pidana murni. Konfirmasi dari penyedia barang/jasa bahwa nota, stempel, nama, dan tanda tangan pada dokumen tersebut bukan milik mereka semakin memperkuat dugaan keberadaan tindak pidana,” papar Bakri.
Lebih lanjut dikatakan dia, temuan ini menegaskan bahwa skandal pemalsuan dokumen ini melibatkan aspek hukum yang lebih mendalam daripada sekadar pelanggaran administratif.
“Dalam konteks hukum, tindakan yang dilakukan oleh pihak terkait dapat dikenakan hukuman sesuai Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dikaitkan dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP mengenai turut serta dalam pemalsuan buku-buku atau laporan administratif yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku pemegang jabatan,” urainya.
Selain itu, sambung dia, tindakan ini juga dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat.
Upaya redaksi untuk mendapatkan tanggapan dari Oknum Camat tidak membuahkan hasil. Meski telah dihubungi melalui pesan WhatsApp maupun sambungan telepon ke nomor aplikasi WhatsApp pribadinya, Camat tidak memberikan tanggapan atas temuan ini.
“Temuan itu kan sudah di tindak lanjuti dengan pengembalian ke Kas Daerah, jadi apalagi,” ungkap sang Oknum Camat saat ingin dikonfirmasi lebih lanjut terkait hal ini oleh redaksi, Selasa (15/8).
Hal ini memperumit kasus dan mendorong perlunya penanganan hukum yang serius terhadap praktik yang tidak hanya merugikan dana publik tetapi juga merusak integritas pengelolaan keuangan daerah.
Skandal pemalsuan dokumen ini telah menjadi sorotan utama dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa. Kejadian ini menunjukkan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap pengawasan dan etika dalam setiap transaksi keuangan.
Kejadian ini juga harus dijadikan pelajaran bagi semua pihak yang terlibat untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan dan prinsip transparansi dalam pengelolaan dana publik.
(icuk)